Kamis, 14 Februari 2019

Essay Beasiswa Bazma, Baituzzakah Pertamina

Tulisan dengan tema Inilah Saya bagi keluarga dan kontribusi yang telah, sedang dan akan saya berikan untuk Indonesia sebagai syarat untuk mengikuti beasiswa Baituzzakah Pertamina tahun 2018/2019. Perkenalkan nama saya adalah Nafiisa Mujadiidah, biasa dipanggil dengan nama Icha. Saya lahir di Sleman, 17 Februari 1999 dari pasangan suami istri yang berdomisili di Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Saya anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya kini berumur 10 tahun dan sedang mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar. Saat ini saya menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan telah memasuki semester 4 perkuliahan.

Saya dibesarkan oleh ayah yang bekerja sebagai wiraswasta dan sempat beberapa kali mencoba peruntukan dengan berbagai jenis usaha, sedangkan ibu saya adalah salah satu pegawai negeri di instansi pemerintahan yang telah mengabdikan dirinya kepada negara sejak lulus dari bangku SMA. Saya tinggal di rumah nenek dari ayah saya dan masa kecil saya dihabiskan dengan curahan kasih sayang nenek dan (alm)kakek saya. Kami memiliki hubungan yang hangat dan harmonis. Keluarga bagi saya merupakan bagian terpenting dalam hampir 20 tahun saya menjalani kehidupan. Keluarga adalah tempat saya mencurahkan segala keresahan dan masalah hidup.

Kontribusi terbesar saya bagi keluarga, benar-benar saya rasakan saat memasuki pertengahan tahun 2018 kemarin. Saat itu keluarga saya diberikan cobaan yang cukup berat dan besar bagi kami. Setelah 1 bulan dirawat di RS Bethesda Yogyakarta dengan kondisi tidak bisa bangun dari tempat tidur. Ibu saya divonis oleh dokter menderita kanker paru-paru stadium 4 dengan keadaan kanker telah menyebar ke tulang belakang sampai otak. Pada saat mendengar vonis itu saya sedang menempuh Ujian Tengah Semester 3 dan adik sayapun sedang menjalani ujian tengah semester di sekolahnya. Dunia kami terasa hancur bekeping-keping dan rasanya saya sendiri sudah tidak bisa berpikir karena saya amat takut kehilangan cahaya hidup saya yaitu, Ibu.

Sejak vonis kanker ibu, saya meninggalkan hal-hal yang saya anggap tidak saya perlukan dan saya fokus kepada keluarga saya. Saya sebagai anak perempuan pertama mengambil alih peran ibu saya, terutama peran ibu kepada adik saya yang masih kecil. Saya mengambil alih peran untuk membereskan dan mengatur urusan rumah serta menemani belajar sampai mengantar sekolah adik saya. Dapat dikatakan bahwa vonis kanker ibu mengubah hidup saya baik dari segi psikis maupun materi, sebab biaya pengobatan yang cukup tinggi dan berbulan-bulan perawatan di rumah sakit telah menggoyahkan perekonomian keluarga kami. Oleh karena itu, kini saya sudah tidak berpikir untuk hidup saya sendiri. Melalui beasiswa saya berharap dapat membantu perekonomian keluarga saya dengan cara meringankan biaya perkuliahan.

Bagi Indonesia kontribusi saya dapat diwujudkan dengan menjadi pelajar dan mahasiswa dengan mengedepankan kejujuran dan aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan penunjang. Sejak saya SMP saya selalu menyukai dunia anak-anak dan dunia sosial. Saya sempat menjadi relawan kegiatan Idul Adha di daerah Bantul yang diselengarakan oleh Kerohanian Islam SMP saya. Saat memasuki dunia SMA, saya aktif dalam Kerohanian Islam dan melalui organisasi itu saya beberapa kali melakukan bakti sosial dan mengajar anak-anak TPA.
Saat ini di dunia perkuliahan saya aktif dalam organisai Dema Justicia yaitu organisasi setara dengan BEM dan bergerak dibidang organisasi kampus dan perjuangan rakyat. Di dalam organisasi ini saya ingin lebih mengenal dan membantu orang lain di sekitar saya disertai dengan belajar mengenai perpolitikan dunia mahasiswa.

Sejak saya memutuskan menjadi mahasiswa fakultas Hukum saya berharap minimal dapat membantu orang lain dan orang-orang kecil yang awam soal hukum dan sering kali tidak diberikan keadilan. Melihat kenyataan yang ada dengan dunia hukum di Indonesia, membuat saya memantapkan hati memilih fakultas ini guna membantu meluruskan keadilan sebab hukum di Indonesia kerap kali menganut tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Dengan berbagai contoh kasus yang kerap kita temui di berbagai surat kabar atau pertelevisian. Ketidaktahuan akan undang-undang dan peraturan sering menjadi alasan utama dan momok menakutkan bagi orang yang kurang mengerti hukum. Berangkat dari keresahan akan hal ini saya berharap setelah lulusnya saya dari Fakultas Hukum, saya dapat mengkampanyekan aturan hukum kepada mereka yang tidak cukup mendapat akses pengetahuan hukum dan dapat membantu orang yang kurang mampu untuk mendapatkan keadilan yang lebih baik. 

Minggu, 10 Februari 2019

A complicated life (bagian 1) : “Pernah Benci Sekolah Sendiri”



Tulisan ini didedikasikan bagi semua orang yang merasa tidak mencintai sekolah, tidak bersyukur dengan keadaan, dan terlalu menuntut takdir Tuhan.

Assalamualaikum, halo semuanya. Sudah lama sekali gak menyentuh dan menulis di blog ini. Awalnya tidak pernah ada keinginan untuk melanjutkan tulisan di dalamnya. Tapi qodarullah setelah membaca tulisan di blog teman saya, Deskantari. Saya jadi tertarik untuk menuangkan cerita dan pandangan hidup melalui blog ini, walaupun tidak ada yang membaca ya tidakpapa yang penting sudah tersampaikan keluh kesah saya. Hehehe.

2017. Kalau memutar waktu mengingat-ingat kejadian yang terjadi di tahun itu, rasanya seperti “kok bisa ya?”. karena bagi saya itu adalah tahun-tahun penuh perjuangan dan drama. Tahun dimana saya harus melepaskan gelar “pelajar” menjadi gelar “mahasiswa”. Tahun dimana saya harus dicoba dengan ujian percintaan ala remaja (hilih). Serta tahun dimana saya harus melalui ujian sesungguhnya. Ujian paling menentukan sepanjang 12 tahun menempuh pendidikan, SBMPTN 2017.

Jika ada yang bertanya “Mau kuliah dimana? Jurusan apa?” yang terlintas dalam benak saya hanyalah beberapa PTN yang tersebar di kota Jogja dan sekitarnya. Karena sampai pertengahan kelas 12 pun saya tidak pernah tahu apa yang orang sebut passion. Rasanya 17 tahun hidup saya sepertinya ya begitu-gitu saja. Ketika mengenyam bangku sekolah, saya menjadi pelajar yang biasa saja bahkan nyerempet ke kata biasa banget sampai-sampai mungkin tidak ada guru yang ingat dengan nama saya (hehe).

Tahun-tahun terakhir di SMA saya lewatkan dengan mengejar ketertinggalan. Tidak sempat terlalu memikirkan jurusan karena sudah dipusingkan dengan pelajaran. Dari awal SMA saya tidak merasa bersyukur dengan sekolah saya. Kenapa? Jawabannya sederhana, bukan sekolah ini yang saya inginkan. Sejak awal memasuki dunia SMA, saya tidak pernah bersungguh-sungguh, ya karena ini tidak saya harapkan. Saya tidak pernah sekalipun memikirkan pelajaran. Saya malah lebih senang menekuni dunia organisasi dan menjalankan pereventan. Tidak salah memang menjadi pelajar aktif kegiatan sekolah, yang salah adalah ketika saya menomor sekiankan pendidikan hanya untuk mengejar kesempurnaan acara/event sekolah.

Semua yang saya lakukan sewaktu SMA semata-mata hanya untuk membalaskan dendam ketidakrelaan saya bersekolah di sana, padahal SMA saya masih tergolong sekolah favorit dan jadi incaran pelajar lulusan SMP di kota saya. Di tengah-tengah ketidak bersyukuran saya, orang tua saya selalu mengingatkan tentang pentingnya belajar saat SMA agar kelak saya tidak perlu susah-susah masuk kuliah karena bisa mendapat undangan. Tetapi semakin saya dinasehati rasanya semakin saya tidak menginginkan undangan itu, hanya karena rasa kecewa saya. Segala nasehat selalu saya terima, namun tidak ada yang saya lakukan. Saya benar-benar malas bersekolah. Ketidakrelaan saya bersekolah disana berlangsung cukup lama, mungkin sekitar 1,5 - 2 tahun lamanya. Baru di kelas 11 menjelang kenaikan kelas 12 saya mulai menerima sekolah ini dan mulai mencintainya. Salah satu alasannya karena saya merasa mendapatkan teman, sahabat terbaik, dan orang yang sampai sekarang saya kagumi di SMA ini. Pelan-pelan saya mulai berusaha mengejar ketertingalan, walaupun susahnya setengah mati. Apalagi fakta bahwa teman-teman di sekeliling saya sudah mati-matian belajar agar nilai rapor nya memuaskan.

Dari sini saya belajar, bahwa memaafkan diri sendiri adalah poin utama dari keikhlasan. Saya ditakdirkan tidak bisa mendapatkan sekolah yang saya inginkan karena suatu alasan Tuhan. Alasan yang hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Selama hampir 2 tahun saya tidak menyukai sekolah saya, bukan karena kesalahan sekolahnya. Tapi saya lah yang tidak dapat menghargai arti kata syukur. Saya yang terlalu sombong dengan kemampuan diri sehingga tidak dapat menerima kenyataan ini. Bukan sekolah saya yang saya benci, tapi adalah diri saya sendiri.

Saya benci ketika saya tidak mendapatkan yang saya mau
Saya benci ketika orang lain dengan mudahnya mengalahkan saya
Saya benci ketika melihat diri saya tidak merasa puas
Pada saat itu rasanya saya benci diri saya sendiri

Ada yang pernah mengatakan “Ketika kamu membenci sesuatu, bukan hal itu yang kamu benci, yang kamu benci adalah dirimu sendiri yang tidak bisa mendapatkannya atau mendapatkan yang lebih darinya” dan menurut saya kalimat ini benar berlaku pada suatu hal baik yang tidak bisa kita dapatkan.


Mulailah mencintai dirimu sendiri. Mulailah menerima ketetapan dan jalan Tuhan. Percayalah bahwa semua do’a akan dikabulkan. Namun tidak semua hal yang kamu inginkan bisa didapatkan pada saat itu juga.

Ingatlah bahwa Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 216

وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).




Senin, 13 Januari 2014

POELANG (Indie Short Film)



Film yang keren ini buatan teman-temanku di SMP Negeri 5 Yogyakarta. Film ini berkisah tentang tiga orang sahabat yang berkeliling jogja untuk mengali potensi wisata di Jogja, jadi bagi yang penasaran langsung tonton aja yuk. Karena film ini juga dilombakan jadi jangan lupa bagikan like kalian ya! Terimakasih.